Perang Korea Jilid Dua & Kemungkinan Perang Dunia
Dengan telaahan yang lebih mendalam terhadap beberapa prakondisi dan insiden akhir-akhir ini, maka dapat ditarik kesimpulan sementara secara empiris sebagai berikut:
1. Perlu dicermati lebih jauh apakah tingkah polah Korea Utara yang semakin berani akhir-akhir ini merupakan ekspresi kesiapan mereka terhadap segala kemungkinan perang (dengan kata lain, benar-benar siap berperang), ataukah sekedar upaya deterrence/penangkalan untuk menyurutkan niat segenap kandidat lawan agar tidak berani melakukan preemptive strike terhadap Korea Utara (atau dengan kata lain, tidak siap perang, tapi sesuai teori Sun Tzu, justru di saat seperti itulah wajib menunjukkan kekuatan kita secara eksesif sebagai upaya deception/pengelabuan). Jawaban terhadap ini bisa ditelaah sebagai berikut:
a. Korsel tidak akan gegabah melakukan preemptive strike, karena Korut merupakan sekutu dekat RRC, dekat secara ideologi politik, ekonomi maupun geografis. Menyerang Korut lebih dahulu –dengan alasan apapun- merupakan trigger bagi RRC untuk terlibat konflik terbuka. Meskipun RRC selama ini menampilkan peran yang relatif netral namun keberpihakannya kepada Korut tetap memiliki dasar yang sangat kuat.
b. Dengan kondisi demikian, ketimbang preemptive strike, Korsel lebih cenderung melakukan retaliation maupun counter-offensive apabila Korut telah nyata-nyata mendahului melakukan serangan. Insiden bombardemen Yeongpyeong merupakan bukti nyata akan adanya doktrin pelibatan semacam ini dalam sistem pertahanan Korsel. Korsel baru melakukan pembalasan setelah nyata-nyata mendapat serangan terbuka dari Korut.
c. Dengan demikian, maka Korut mempunyai kartu lebih, yakni apabila Korut berhasil memancing Korsel menyerang terlebih dahulu, atau setidaknya memberi kesan seakan-akan Korsel menyerang terlebih dahulu, maka Korut akan dapat melibatkan RRC, menggunakan kekuatan RRC untuk menghancurkan Korsel. Korut mempunyai ambisi abadi untuk mempersatukan Semenanjung Korea, dan mau tidak mau, cita-citanya itu harus tercapai.
d. Ketika Korsel dikeroyok oleh Korut dan RRC, tidak ada jaminan AS & Jepang akan turut campur kecuali apabila memang nyata-nyata mengancam kepentingan mereka sendiri. Terlebih Jepang, mereka tidak memiliki ikatan emosional maupun etnisitas apapun dengan Korsel. Secara tradisional, Jepang dan Korea (Korut maupun Korsel) malah merupakan rival bebuyutan. Sikap Jepang akan lebih ditentukan oleh penentuan sikap AS sendiri. Apabila AS memang turut campur, maka Jepang akan bersedia turut campur karena keterlibatan AS merupakan jaminan keamanan bagi mereka sendiri. Namun apabila AS sendiri tidak turut campur, tentu Jepang yang secara geografis sangat rentan terhadap serangan rudal balistik Korut tentu akan memilih aman dan lepas tangan. Jadi, kartunya ada pada akan terlibat atau tidaknya AS.
2. Apabila poin 1 a-d terjadi, maka sekilas kita dapat menyimpulkan bahwa perang dapat dilokalisir pada Semenanjung Korea saja, tidak akan meluas ke Jepang, hingga kawasan Asia lainnya. Namun, sekali lagi ini sangat bergantung kepada respon AS, dan pembenaran apa yang akan dijadikan landasan bagi AS untuk terlibat maupun tidak terlibat perang:
a. Secara ekonomi, terlibat dalam front Korea sangat merugikan AS. Terlebih kondisi perekonomian AS sendiri dalam beberapa tahun terakhir ini berada dalam krisis yang hingga kini belum berujung.
b. Penggelaran kekuatan perang AS di luar negeri pada saat ini lebih terfokus di Timur Tengah, dalam kaitannya dengan kegiatan mereka di Irak, Afghanistan, dll. AS akan mengalami kesulitan apabila harus menjalani 2 front sekaligus (front Timur Tengah & front Asia Timur).
c. Secara militer, lawan yang dihadapi bukanlah sekelas Irak, Afghanistan maupun Libia. Yang dihadapi adalah Korut yang tidak hanya memiliki rudal balistik antar benua dengan sokongan jumlah personil militer yang fantastis, namun juga lawan yang memiliki back-up sangat kuat secara ekonomi maupun militer, yakni RRC.
d. Atas pertimbangan di atas, kecil kemungkinan AS akan mau melibatkan dirinya, terlepas dari apapun perjanjian yang pernah dibuat antara AS-Korsel selama ini.
3. Namun, urung terlibatnya AS sebagaimana dijelaskan pada poin 2 di atas justru menimbulkan efek samping yang sangat buruk dalam perimbangan kekuatan di Asia. RRC dikuatirkan akan menjadi semakin percaya diri, dan akan meyakini bahwa asalkan tidak mengganggu AS secara langsung, RRC merasa mendapatkan pembenaran untuk melakukan tindakan lebih jauh. Sejarah sudah pernah mencatat rentetan peristiwa serupa dalam Perang Dunia Kedua dengan aktor yang berbeda. Jerman yang dibiarkan mengokupasi Austria dan Ceko, malah kemudian menyerang Polandia. Agresi Jerman terhadap Polandia inilah yang akhirnya memicu Perang Dunia 2 di front Eropa.
4. Bila dikaitkan dengan klaim RRC terhadap seluruh wilayah Laut Cina Selatan yang mendapat tentangan dari Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dll, maka potensi melebarnya konflik tidak bisa dinafikan. Terlebih apabila kita mencermati ketidakseimbangan kekuatan militer RRC dengan Vietnam, Filipina, dsb. Ketidakseimbangan kekuatan dapat merupakan salah satu pendorong terjadinya konflik terbuka. Potensi konflik Laut Cina Selatan ini termasuk salah satu potensi perang terbesar yang dihadapi Asia dan dunia saat ini. Klaim RRC terhadap seluruh Laut Cina Selatan ini meliputi pula sebagian perairan Natuna dan ini merupakan perkembangan terbaru yang harus RI waspadai, karena apabila kita terlalu lembek dalam bersikap, maka kedaulatan kita akan dianggap remeh, namun apabila kita terlalu keras, kita akan berhadapan dengan raksasa ekonomi & militer yang alangkah baiknya bila dapat kita jadikan teman.
Kesimpulan
Prakondisi saat ini sudah mengarah kepada potensi perang, namun baik Korut dan Korsel masih saling wait & see. Di sisi lain, Korea bersatu merupakan cita-cita bersama mereka, namun tidak seperti bersatunya Jerman, melainkan salah satunya merasa harus menang atas yang lain, menang secara ideologi serta militer.
Sebagai upaya pencegahan perang, perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut:
1. PBB (atau apabila PBB enggan, maka peran ini harus diambil oleh kekuatan adidaya di balik Korut dan Korsel, yakni RRC dan AS) harus proaktif mengupayakan perdamaian final antara keduanya. Andai keduanya dapat bersatu kembali, tentu itu lebih baik. Perlu dipikirkan format kenegaraan yang dapat menyatukan dua negara bersaudara namun beda ideologi ini. Apakah bisa mengadopsi dua sistem dalam satu negara (seperti Hongkong dalam RRC), ataukah seperti bersatunya Jerman, dimana Jerman Timur mengalah dan menggabungkan diri ke dalam Jerman Barat sehingga ideologi Jerman saat ini sepenuhnya adalah ideologi Jerman Barat.
2. Dan andai keduanya tak dapat bersatu pun, harus segera diwujudkan sebuah perjanjian perdamaian final yang lebih definitif dan mengikat ketimbang Korean Armistice Agreement 27 Juli 1953 tersebut.
Apabila kedua hal di atas gagal terwujud atau memang dikondisikan untuk tidak terwujud oleh kekuatan-kekuatan tertentu, maka berperangnya kembali Korut-Korsel tinggal menunggu waktu saja, dan kartu untuk menjadikan perang ini sebagai perang dengan eskalasi lebih besar dimiliki oleh negara adidaya yang menyokong Korut-Korsel. RRC jelas akan berada di belakang Korut, tapi apakah AS akan benar-benar bersama Korsel? Untuk mencegah agar konflik terbuka ini dapat dilokalisir, turun tangannya AS memang sangat diharapkan, namun bagi AS sendiri, turun tangannya tersebut tidaklah menguntungkan bagi mereka sendiri. Secara logika ekonomi dan militer, rasanya sulit membayangkan mereka akan turun tangan membantu Korsel. AS yang sekarang bukanlah AS yang baru saja memenangkan PD2 ketika Perang Korea jilid 1 (1950-1953) terjadi. AS yang sekarang bukanlah AS yang merasa harus membendung ideologi komunisme di mana-mana.
Entah deal-deal apa yang akan terjadi antara AS-RRC, kita tidak tahu, namun kita berharap deal-deal tersebut justru menuju solusi damai, bukan sebaliknya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar